Di Biak ada Sinon Wader: Inspirasi dan Mentalitas Neoliberal

 

Sinon Wader (kiri) dan penulis (kanan) di Kampung Waderbo, Biak. Foto: Anugrah Wejai/dokumentasi pribadi
 

Sinon Wader adalah seorang pria berdarah suku Biak yang berdagang sayur, namun yang unik adalah dia membawa dagangannya berkeliling selayaknya “Abang Sayur”. Di Papua, khususnya di Biak, berdagang sayur keliling menjadi jenis mata pencarian yang keseluruhannya dijalankan oleh pendatang luar pulau—kebanyakan dari Jawa. Inilah mengapa stereotipe “Mas atau Abang Sayur” muncul, penduduk asli Biak tidak pernah naik sepeda motor berjualan sayur. Sinon Wader bisa disebut pelopor dalam bidang ini.

Kemajuan belum tentu identik dengan apa yang fenomenal di kota, karena kedewasaan dalam kemajuan juga ada dalam diri seorang Sinon Wader. Seseorang yang satu ini menetap di Kampung Waderbo, Distrik Biak Timur, Kabupaten Biak Numfor, Papua. Jarak dari Kampung Waderbo ke pusat kota Biak membutuhkan waktu kurang lebih empat puluh menit lebih menggunakan sepeda motor. Tidak banyak yang dapat ditemukan disana selain gereja, balai kampung, sekolah, dan pemukiman warga setempat. Rata-rata penduduk Kampung Waderbo dan kampung-kampung sekitarnya berfokus pada kerja-kerja agraris seperti berkebun. Nuansa yang berbeda dengan kota, namun tidak memungkiri spirit dan mindset Sinon Wader untuk thinking out of the box yang setara dengan pemikiran neo-liberal.

Pribadi, Keputusan, dan Gagasannya

Saya sempat berbincang dengan Kamam Sinon—Kamam artinya bapak dalam bahasa Biak.  Waktu itu Kamam Sinon sedang menyemen keramik lantai di salah satu rumah familinya—famili artinya sanak keluarga. Kamam Sinon bisa bekerja apa saja, multi-tasking. Setelah itu, saya dan Kamam Sinon berdiskusi santai di halaman rumahnya, tentunya saya merasakan ramah tamah keluarganya. Beliau sederhana karena merasa cukup atas hidupnya. Kecukupan bawaan pribadi telah memanggilnya untuk melayani sebagai majelis gereja. Dalam pengakuan Kamam Sinon, melayani di gereja berarti juga memberi, mengembalikan setiap bagian dari miliknya ke rumah Tuhan untuk pekerjaan Tuhan. Kamam Sinon yakin bahwa karunia dan berkatnya merupakan bagian integral dari anugerah Tuhan.

Kesederhanaan keluarga dan kehidupan pelayanan menguatkan keputusan Kamam Sinon untuk maju dalam berpikir dan bertindak. Kita sedang mendiskusikan itu sekarang. Memutuskan untuk berdagang keliling didorong oleh pandangan tentang lingkungan ini kompetitif yang sekali lagi kita tidak bisa berharap terus pada ketersediaan dan kenyamanan saat ini. “Saya berpikir tentang usaha yang berbeda”, jelas Kamam Sinon. Dia sadar bahwa ketika dia menjual sayur dan menunggu pembeli datang mungkin mengalami perkembangan yang relatif stagnan atau tidak sama sekali. Memerhatikan dan membandingkan kegiatan Mas Sayur keliling, Kamam Sinon belajar cara kerja yang serupa. Dalam proses kustomisasi, ternyata menjadi pedagang sayur keliling memiliki tantangan tersendiri.

Saya membaca situasi di lapangan, apa yang pembeli butuhkan selain sayur mayur”, tambah Kamam Sinon tentang adaptasi tersebut. Terkadang sedikit dukungan yang dialami oleh Kamam Sinon dalam menjalankan usahanya, ironisnya prasangka yang tidak berdasar bahwa dia adalah mata-mata atau agen rahasia. Tak satu pun dari itu menurunkan semangatnya dalam peran ini. Untuk Kamam Sinon, hal berikut berlaku: Bergaul dengan semua orang meskipun tidak semuanya baik, namun biarkanlah. Satu hal juga menjadi perhatian adalah para pembeli sayurnya merasa diuntungkan karena Kamam Sinon menjual sekaligus memberikan sedikit bonus jualannya sehingga tidak memungkiri timbul loyalitas pelanggan. “Memberi lebih—“bonus jualan”—tandanya melayani, sekalipun terjadi saat berdagang. Persoalan untung adalah berkat Tuhan”, tambah Kamam Sinon pada kebiasaannya itu.

Sinon Wader (kiri) dan penulis (kanan) di Kampung Waderbo, Biak. Foto: Anugrah Wejai/dokumentasi pribadi


Kamam Sinon sebagai Sintesis Glokalisasi Neo-liberalisme

Dalam disiplin hubungan internasional, kita mengenal yang disebut glokalisasi. Mengutip Oxford Reference, glokalisasi mengartikan bahwasanya fenomena lokal bersifat global dan semua representasi yang beroperasi di sekitar lingkungan kita merupakan bagian integral dari ekosistem global. Kembali lagi ke Waderbo, Kamam Sinon mencatat bahwa dunia tempat kita hidup nyatanya kompetitif dan jika terlalu menaruh harapan pada pemerintah untuk bekerja mungkin bukan pilihan yang tepat saat ini. Kamam Sinon mengakui memang berdagang sayur keliling banyak tantangan akan tetapi sikap terbaik adalah beradaptasi dan membaca apa yang diinginkan konsumen.

Saya tidak hanya jual sayur, tapi saya jual juga bumbu-bumbu masak lain karena saya perhatikan ternyata mama-mama dorang juga cari bawang merah, ketumbar, bahkan buah pinangJadi menurut saya pintar-pintar membaca situasi.” jelas Kamam Sinon.

Sebenarnya strategi dan sikap adaptif Kamam Sinon mencerminkan fenomena pasar global berdasarkan paradigma neo-liberalisme. Bagaimana Anda melihatnya? Pertama, Kamam Sinon yakin bahwa lingkungan kita kompetitif untuk bertahan hidup, yang secara tidak langsung terkait dengan karakter pelaku bisnis internasional atau pasar global dimana persaingan bebas sudah mendarah daging di setiap individu. Kamam Sinon memiliki pemikiran yang sama, berpikir global tapi aksi lokal.

Selain itu, merujuk pada salah satu karakteristik orang neo-liberal, yaitu membaca peluang yang tersedia. Kamam Sinon menangkap peluang dengan menangkap kebutuhan pembelinya, seperti menyediakan bumbu-bumbu masak selain sayur. Menurut pengakuannya, cara ini efektif membantu pembeli mendapatkan kebutuhannya dan meningkatkan keuntungan dagang. Sama-sama menguntungkan (hubungan mutualisme). Karakter-karakter inilah yang bagi internasionalists merepresentasikan glokalisasi atau kondisi dimana orang lokal mampu menafsirkan situasi sesuai cara kerja sistem dunia ini.  

Pelajaran bagi Kita Semua

Dari kampung Waderbo untuk kota Biak, Anda dan saya akan mengambil sesuatu yang baik dari kisah ini. Saya yakinkan Anda bahwa sulit atau jika bukan tidak mungkin, menemukan masyarakat desa berpikir selayaknya orang-orang metropolitan. Di Waderbo, Kamam Sinon melampaui gaya hidup warga kota Biak pada umumnya, terutama perihal kesadaran dan gagasan. Saya sebut dia punya gagasan karena eksistensi ide tidak terbatas pada inovasi dan kreatifitas melainkan lebih dari pada itu mencakup konsisten untuk menghayati ide atau gagasan melalui tindakan.

Hari ini kita sepakat bahwa kecenderungan utama masyarakat Biak tidak terlepas dari sektor penyelenggara negara dan instansi keamanan negara. Apabila seseorang kurang beruntung di seleksi masuk pemerintahan, mereka cenderung mengikuti arus tren lain, seperti: Misalnya politik praktis, masuk koalisi pemerintah petahana, atau menanti keberuntungan berikutnya. Kita perlu sadar bahwa sistem yang bekerja di sekitar kita secara struktural mengandung the rule of game, jikalau belum ada inisiatif untuk berpikir ke depan, maka kemungkinan yang terjadi tidak memberikan kemajuan berarti.

Kendati tinggal di kampung, Kamam Sinon menerapkan slogan glokalisasi “think globally, act locally”. Itu berati menjadi inspirasi, kritik, dan tantangan bagi kami masyarakat kota Biak, tanah Papua, dan Indonesia, bahwa kalau orang kampung mampu berpikir global kenapa kami masih berada di zona nyaman, maka kami harus lebih kuat dari sekarang. Kamam Sinon sang neoliberal.  

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Opini tentang Pelayanan Publik di Dukcapil Biak Numfor

Green Jobs, Green Economic, and Green Indonesia