Inovasi dalam Mengoptimalisasikan Kesehatan di Pedalaman

 

 Sumber : Anugrah Wejai


Ada lima pilar fokus utama pembangunan yang meliputi kesehatan, pendidikan, ekonomi kerakyatan, infrastruktur dan sosial budaya. Masing-masing dari kelima bidang tersebut saling berkaitan satu sama lain yang akan membentuk stabilitas dan signifikansi kesejahteraan masyarakat. Dalam penerapan fokus-fokus tersebut, keseimbangan pembangunan memanglah sangat diperlukan. Kesehatan dapat tercapai jika akses infrastruktur memadahi, membangun strategi ekonomi mikro memerlukan pandangan sosial budaya dari suatu daerah, dan pendidikan yang menjadi penggerak sumber daya manusia.

Indonesia sebagai negara berkembang sangat identik dengan pembangunan. Beragam kebijakan telah dijalankan demi percepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Pajak negara menjadi sumber daya utama finansial. Legislator berfungsi sebagai pengawas pada setiap kebijakan. Pemerintah yang memainkan permainan ini bertanggung jawab atas tindakan dan aksinya.

Jika kita berbicara mengenai pilar pembangunan kesehatan di Indonesia, maka sejujurnya yang terlintas di kepala saya adalah tanah Papua. Suatu daerah otonomi khusus yang dijuluki “surga kecil” ini sangat populer dengan kekayaan alamnya - tambang, minyak, pertanian & perkebunan, perikanan, dan parawisata. Disadari atau tidak bahwa kualitas kesehatan di tempat kelahiran saya masih belum menyentuh akar rumput, masih terdapat kesenjangan kesehatan di antara masyarakat yang berdomisili pada daerah-daerah terpencil. Ketidakmerataan pembangunan sektor kesehatan mempunyai pengaruh yang besar terhadap peradaban manusia di daerah pedalaman. Status healty quality antara metropolitan dengan pelosok daerah memang sangat jauh apabila diperbandingkan. Hal ini menunjukan bahwa terdapat indikator-indikator yang perlu dipercepat dalam peningkatan kualitas kesehatan di daerah pedalaman.

Menambahkan isi paragraf diatas, saya akan menjabarkan problematika dan rangkaian solusi pada pilar kesehatan ini yang kiranya dapat menjadi informasi dan juga referensi bagi pembaca.

 

1. Minimnya tenaga medis

Sebagai subjek penggerak kesehatan, tenaga medis memiliki posisi yang sangat dicari-cari. Banyak daerah memerlukan tenaga medis hadir di wilayah mereka, namun hanya sedikit yang memilih dan berhati nurani untuk mengabdi. Saya pribadi mempunyai beberapa koneksi dengan  orang-orang yang bergerak di bidang kerelawanan kesehatan. Banyak sekali kisah inspiratif mereka yang bisa membuat siapapun betah mendengarnya, termasuk saya. Sejak membangun relasi dan juga membagikan pengalaman, dari situ saya dapat belajar bahwa menjadi seorang dokter ataupun relawan kesehatan memiliki tantangan yang besar serta sangat mulia.

Bersumber dari pengamatan sendiri, kisah heroik pahlawan kesehatan dan bacaan akademik, saya mendapat gambaran besar tentang problematika kesehatan di pelosok kota dan pedalaman. Pertama, ketersediaan dokter speasialis di daearah pedalaman yang masih rendah. Praktisi pelayanan kesehatan hanya tersentralisasi di perkotaan, sedangkan proses desentralisasinya belum sepenuhnya maksimal. Sehingga budaya “rujukan” menjadi jalan alternatif mendapatkan pengobatan medis dari para dokter handal.  

Ada pula alasan yang menguatkan mengapa para dokter hanya mangkal di kota, sebab pertimbangan akan kesejahteraannya yang mungkin tidak senyaman di metropolitan. Paradigma akan tantangan dan pengorbanan yang luar biasa di pedalaman tumbuh dan berkembang sehingga membuat mereka tidak berani mengambil keputusan untuk mengabdi. Pada akhirnya hanya yang terpanggil dan berhati nurani sajalah yang memprioritaskan kualitas kehidupan orang lain dan optimis bahwa mereka bisa beradaptasi serta mendapatkan kemakmuran baik material maupun manfaat spiritual.

Saya berpendapat bahwasannya di Papua sebagai daerah yang membutuhkan perhatian lebih di bidang kesehatan perlu didominasi dengan tenaga ahli medis dan dokter, mengingat yang dibutuhkan Papua dari dulu hingga saat ini adalah kesehatan. Namun yang terjadi sekarang ini, militeristik lebih mendominasi di setiap titik dan tidak sejalan dengan bidang lainnya seperti kesehatan dan pendidikan.

Saya tidak ingat persis dimana saya mendapatkannya, ada sebuah kalimat yang berbunyi “Jika Jakarta bisa mengirimkan seribu tentara, maka harus bisa juga seribu dokter dan seribu guru ke Papua sebab kami butuh kesehatan dan pendidikan bukan peralatan perang”.

Dari kalimat tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa daerah-daerah pedalaman membutuhkan keseimbangan antara pilar-pilar utama pembangunan. Saran saya kepada pembuat kebijakan, kaum politikus, legislator dan tokoh publik untuk lebih cekatan dalam memahami nurani rakyat. Buatlah kebijakan yang mengedepankan ketersediaan pelayanan kesehatan berupa tenaga medis handal yang siap sedia di tengah masyarakat serta juga menjamin kesejahteraan hidup mereka (tenaga medis). Peningkatan kuota dokter spesialis di daerah yang terisolir juga adalah strategi terbaik untuk mengurangi angka kematian dan kekurangan gizi di daerah pedalaman. Kehadiran mereka (tenaga ahli medis) memiliki reputasi yang baik bagi masyarakat setempat. Akan lebih baik program-program pemerintah bisa memfasilitasi ketersediaan dokter spesialis, terlebih dokter spesialis kandungan. Mengingat proses kelahiran di daerah pedalaman masih ada yang tradisionil dan belum menggunakan metode kelahiran medis, maka peningkatan tenaga medis di daerah-daerah tersebut adalah cara yang tepat.

 

2. Fasilitas dan Suplemen Kesehatan hingga Sistem Jemput Bola

Tidak beda jauh dari poin pertama, ketersediaan fasilitas dan obat-obat medis juga menjadi faktor utama penunjang kesehatan. Tidak heran jika daerah-daerah seperti kabupaten di Papua saja masih harus menggunakan budaya “rujukan”, apalagi wilayah-wilayah yang terisolir. Ketimpangan alat-alat medis memang masih ada, banyak rumah sakit pemerintah yang minim fasilitas ataupun teknologi medis belum semutakhir di Jakarta.

Sering terjadi bahwa, gedung-gedung rumah sakit dan puskesmas yang megah namun fasilitas medis belum memadahi. Padahal jika mau dikatakan salah satu sentral dari kesehatan adalah peralatan medis. Sepintar-pintarnya dokter bila tidak di dukung dengan senjata medis, maka sia-sialah.

Sama halnya juga dengan suplemen obat-obatan. Ibarat sebuah senjata yang pastinya membutuhkan peluru untuk melakukan sebuah tembakan. Kesenjagan tidak hanya terjadi pada subjek penggerak medis, tapi juga bahan-bahan medis. Hal ini sering terjadi di daerah perkampungan yang pada awalnya sudah minim akses sehingga menciptakan kesulitan bagi masyarakat setempat. Belum lagi jika jarak antara pemukiman dengan pos-pos kesehatan yang belum terjangkau, mengakibatkan kesenjangan akan terus berlanjut.

Berkaitan dengan jarak antara masyarakat dengan pusat medis, sistem “jemput bola” merupakan inisiatif dari manusia-manusia yang ingin berdedikasi kepada rakyat akar rumput. Sistem ini berbanding terbalik dengan kebiasaan manusia secara universal, yang biasanya orang-oranglah yang pergi dan mencari kesembuhan biologis pada ahli-ahli kesehatan akan tetapi orang-orang medislah yang melacak keberadaan pasien, serta memberikan penanganan terbaik kepada pasien.

Tindakan tersebut, bisa didapatkan pada salah satu klinik kesehatan di daerah Boven Digoel yaitu Klinik Asiki. Dedikasi yang besar dari Korindo Group terhadap tanah Papua adalah tindakan extraordinary. Saya bisa katakan belum tentu birokrasi bisa seperti ini. KORINDO berupaya agar prinsip Kesehatan yang Baik Untuk Sesama bisa di terapkan tanpa memandang anda dan saya suku apa atau warna kulit apa. Apresiasi tinggi saya sebagai anak Papua terhadap Korindo yang mau berdampak kepada sesama terutama rakyat Papua.

Aksi nyata Klinik Asiki dapat dijadikan model bagi pembuat kebijakan agar kedepannya bisa menjadi grand design kesehatan di tanah Papua. Saya yakin sekali bahwa orang asli Papua pasti menginginkan pelayanan kesehatan yang serupa dengan Klinik Asiki. Dokter, tenaga medis yang selalu siap, serta peralatan dan bahan obat-obatan yang memadahi membuat masyarakat semakin percaya dan nyaman terhadap pelayanan kesehatan oleh Klinik Asiki.

Meskipun pelayanan Klinik Asiki hanya terdapat di daerah Boven Digoel namun pengakuan serta reputasinya sudah meng-Indonesia, ini menandakan bahwa pelayanan seperti inilah yang menjadi primadona masyarakat di daerah pedalaman. Sedikit saran buat pemerintah sebagai pemeran utama pembangunan, bahwa kualitas pelayanan perlu dilakukan dengan tindakan ekstra.

Pertama, pastikan titik-titik pos kesehatan harus bisa dijangkau oleh kalangan rakyat. Kebanyakan masalah terjadi di bagian ini yang artinya problematika jarak menjadi tembok besar bagi rakyat.

Kedua, kesiapsediaan tenaga ahli medis dan dokter mesti harus selalu ada dan tidak lupa juga kesejahteraan hidup dari mereka patut diperhitungkan dengan dibuatnya komitmen yang berkelanjutan.

Ketiga, senjata medis (peralatan) dan suplemen kesehatan perlu di ekspansi di seluruh pos-pos kesehatan. Tujuannya memudahkan akses dalam mendapatkan kebutuhan kesehatan.

 

3. Pemenuhan gizi dan edukasi kesehatan yang baik

Salah satu masalah kesehatan di daerah pedalaman adalah kekurangan gizi baik. Pemenuhan gizi baik adalah cara tepat mewujudkan sumber daya yang sehat dan unggul. Anak-anak sangat rentan terhadap gizi buruk yang bisa mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit langkah. Suatu ketika pernah terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) Gizi Buruk di Asmat, Papua, yang menyebabkan 72 anak meninggal. Ini menandakan harus ada perubahan yang nyata di tanah Papua, bukan hanya peningkatan dana otonomi khusus melainkan kualitas hidup masyarakat setempat.

Menanggapi masalah tersebut, perlu adanya peningkatan gizi baik di daerah pedalaman dengan mengalokasikan dana pembangunan untuk pengadaan makanan dan minuman bervitamin, protein, dan mineral di daerah yang terisolir demi menunjang kecukupan gizi yang baik. Kita selamatkan dulu sumber dayanya dengan memberikan kesehatan yang baik agar stamina dan daya tahan tubuh kuat untuk kemakmuran masyarakat.

 

4. Sistem Pelayanan yang berbasis teknologi

Ada kaitannya dengan poin kedua diatas, kali ini akan dijelaskan salah satu ide yang diyakini sangat adaptif dengan peradaban zaman dan juga efisiensi dalam melacak titik-titik yang membutuhkan pertolongan kesehatan.

Manusia menciptakan mesin untuk membantu manusia lain dalam menjalani kehidupan. Karena keberhasilan manusia dalam mengkreasikan ciptaannya, akhirnya semua orang mulai bergantung pada ciptaan manusia. Teknologi sangat mendominasi di bidang ekonomi dan pendidikan. Sistem niaga saat ini sangat memanjakan customer dengan pelayanan yang penuh “perhatian” membuat society 5.0 menjadi betah untuk bermalas-malasan. Ditambah sistem online learning yang saat ini tumbuh menjadi beban bagi sebagian besar pelajar karena selalu dituntut untuk cekatan dalam penugasan dan juga keterbatasan menyerap ilmu yang hanya sebatas monitor.

Saya berpikir alangkah baiknya apabila kemutakhiran teknologi bisa bertransformasi menjadi “fasilitator” kesehatan di pelosok negeri. Menyulap sebuah sistem dengan rancangan utama sebagai pelacak jenis penyakit dan rekomendasi pengobatan saya pikir adalah salah satu cara mengimplementasikan pelayanan kesehatan berbasis teknologi. Pasti banyak di luar sana orang-orang yang ahli dalam hal merancang dan menciptakan sebuah mesin. Sebuah sistem yang secara otomatis bisa mengidentifikasi gejala penyakit, bentuk penyakit dan pengobatannya adalah gagasan dari ide ini. Tidak lupa juga, sosialisasi dari fungsi alat ini perlu dilakukan sebagai tahap awal pengimplementasiannya agar penggunaannya bisa terarah dan mencapai tujuannya.

 

5. Optimalisasi kinerja Pemerintah di bidang kesehatan

Ada tiga komponen pembangunan yaitu Pemerintah, Swasta dan Masyarakat. Dari ketiga komponen tersebut yang paling banyak mendapatkan legalitas dan berkuasa adalah pemerintah. Dari ketiga komponen tersebut yang paling banyak berkontribusi adalah swasta. Dari ketiga komponen tersebut yang paling tahu banyak dan merasakan dampak adalah masyarakat.

Pemerintah sebagai pelaku utama pembangunan mempunyai kuasa dan kewenangan dalam memanajemen pergerakan perubahan. Karena memiliki legalitas atas wilayahnya, para pembuat kebijakan mendapatkan kepercayaan dari raja (rakyat) untuk mengatur, merencanakan dan melakasanakan inovasi pembangunan. Kadangkala beragam kepentingan di luar amanah rakyat menjadi dominan. Ada banyak suara rakyat tidak terdengarkan oleh penguasa, pada akhirnya pihak lain mulai menjawab aspirasi tersebut dengan cara dan tindakan khas mereka sendiri. Siapakah mereka? Swasta.

Swasta kalau diartikan memiliki makna sementara tentang keuntungan. Meraih keuntungan adalah prioritas swasta, tapi tidak menutup kemungkinan bagi swasta untuk bertindak lebih dari sekedar mengejar jutaan dolar. Karena tindakan ekstra yang dilakukan, mampu memposisikan swasta sebagai “enemy” bagi pembuat kebijakan pemerintahan. Tidak banyak pihak swasta bermitra dengan pemerintah.

Jika dilihat trackrecord daripada swasta memanglah sangat berdampak secara sosial terhadap masyarakat. Pelayanan yang jauh berbeda dari aturan main birokrasi membuat saya dan anda pasti betah dan nyaman. Gebrekan swasta lebih tepat sasaran. Program-program inovasi pun secara konsisten terus dilaksanakan, meskipun pasti ada beberapa tantangan namun saya yakin betul bahwa semangat dan tekad dari nurani pihak swasta sangat besar untuk memberikan dampak yang lebih.

Dalam hal ini pemerintah perlu bermitra dengan swasta dalam menelusuri apa saja indikator-indikator sosial yang memberikan kenyamanan terhadap rakyat. Mengingat swasta mempunyai reputasi yang baik dalam hal pelayanan.

Tidak hanya itu, dalam mengoptimalisasikan peran pemerintah pada sektor kesehatan di daerah pedalaman pemerintah harus bisa berempati. Bahasa gaulnya ialah “peka”. Tingkat kepekaan pemerintah terhadap masyarakat perlu ditingkatkan. Apa saja yang sebenarnya dibutuhkan rakyat? Mengapa hal-hal itu begitu urgensi? Bagaimana proses untuk mencapainya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang dirasa memiliki nilai empati yang tinggi.

Good governance juga menjadi sifat alami dari pelaku utama pembangunan. Kadangkala programnya sudah jelas arahnya, namun saja konsistensi dan kepentingan lain selalu menjadi “obat nyamuk” di tengah jalannya pembangunan. Ada permainan tipis-tipis yang mendistraksi tujuan sejati dari kepemerintahan itu sendiri. Subjek-subjek di dalamnya selalu bereforia memainkan roda kebijakan untuk melindungi kenafsuan politiknya. Ditambah “administrasi persaudaraan” yang kerap muncul sebagai jalan pintas untuk meraih sesuatu dengan jalan yang tidak jujur. Banyak sekali omongan kosong tentang transparansi anggaran dan juga penghematan finansial demi kemajuan daerah yang selalu saja inkonsisten.

Analogi tentang sikap pemerintah yang berbunyi demikian “ Kepentingan rakyat lewat pintu depan, kepentingan lain masuk pintu samping “. Politik sering digunakan sebagai tameng untuk melindungi hak-hak pemerintah. Aturan birokrasi selalu terdengar njelimet sehingga menimbulkan ketidaknyamanan. Sering juga status sebagai representative legislator dipertanyaakan keberadaannya yang mulai hilang dari perjuangan politik dalam negara demokrasi ini. Fasilitas pemerintah selalu terlihat glamour. Dengan alasan kenyamanan dalam bersinergi sudah mampu memberikan kepercayaan palsu terhadap rakyat belum semuanya sejahtera.

Paragraf-paragraf diatas mungkin agak sedikit terdengar kasar, sebab saya melampiaskan kegelisahan terhadap apa yang saya pikirkan mengenai status sinergitas pemerintah dalam berkontribusi yang sering tidak tepat sasaran. Pada intinya, optimalisasi kinerja pemerintah perlu di ekspansi hingga kaum akar rumput.

 

Telah tiba di akhir blog, disini akan disimpulkan gagasan utama dari kelima poin diatas sebagai berikut :

1.      Meningkatkan peran tenaga medis dengan menambah jumlahnya di pelosok serta memperhatikan juga hak-hak kesejahteraannya.

2.      Suplemen, fasilitas kesehatan dan obat-obatan juga berperan penting dalam menjamin pengobatan medis. Penting rasanya untuk memastikan ketersediaan bahan obat-obatan dan fasilitas medis di daerah pedalaman agar proses pelayanan semakin optimal.

3.      Gizi dan edukasi kesehatan yang baik adalah hal penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang andal dan sehat. Pemenuhan gizi baik adalah cara untuk menciptakan generasi yang sehat, kuat dan cerdas. Edukasi kesehatan yang baik adalah proses informasi terhadap masyarakat agar kedepannya lebih banyak mencegah daripada mengobati.

4.      Memanfaatkan teknologi untuk mencari kekasih memanglah keren, tapi memanfaatkan teknologi untuk mencapai level kesehatan yang maksimal sangatlah luar biasa. Sistem yang mengidentifikasi masalah kesehatan dan memberikan rekomendasi pengobatan sangatlah tepat jika diterapkan di daerah pedalaman dan juga akan memberikan manfaat lain seperti penggunaan teknologi yang mendominasi sebagai wujud masyarakat yang adaptif terhadap revolusi teknologi.

5.      Status pemerintah sebagai the main character of development perlu di optimalkan lagi. Mengingat banyak sekali kepentingan sekunder dan tersier yang mendominasi sehingga menciptkan siklus yang pasif akan perubahan. Pemerintah perlu mendengar keluhan dan bertindak sesuai dengan aspirasi rakyat. Kontribusi dari swasta bisa dijadikan contoh bahkan lebih baik jika bisa bermitra.

 

Sebagai manusia yang tidak lepas dari keterbatasan, saya memohon maaf jika ada satu kata atau kalimat yang kurang berkenan di hati pembaca.

 

Saya Anugrah Wejai, Salam Damai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Biak ada Sinon Wader: Inspirasi dan Mentalitas Neoliberal

Opini tentang Pelayanan Publik di Dukcapil Biak Numfor

Green Jobs, Green Economic, and Green Indonesia