Evaluasi 2019

2019

Hari ini adalah hari terakhir di tahun ini, tepatnya 31 Desember 2019. Saya yakin pasti banyak orang akan merasakan kebahagiaan, kesedihan, penyesalan dan kekecewaan yang mereka alami di tahun ini. Entah itu resolusi yang dicanangkan tahun sebelumnya namun belum tercapai ataupun sudah merealisasikannya. Kekhawatiran akan resolusi 2020 yang mungkin tidak akan tercapai akan selalu menghantui para overthinker. Berbeda jauh dari pada itu rasa semangat, bahagia dan penuh gairah akan selalu mengikuti para individu revolusioner. 

Saya juga pernah membuat beberapa resolusi tahun 2019 akan tetapi daya tahan kekebalan jiwa terhadap segala maksiat yang menggoda untuk melakukan penyimpangan dari resolusi tersebut selalu ada dan tetap ada. Seandainya 2019 adalah a people ingin kuceritakan betapa banyaknya kekecewaan dan kegagalan yang kualami di daripadamu. Frustasi dan depresi telah kujajaki semenjak masih berada di ambang keputusasaan. Menjadikan itu sebagai experience untuk merealisasikan  resolusi tahun 2020 agar menjadi as good person. 

Saya seorang remaja yang sedang mengalami pertumbuhan fisik dan psikis. Saya tahu persis penyakit yang selalu di alami remaja seusia saya, yaitu krisis mental. Delapan diantara sepuluh remaja mengalami depresi, yang disebabkan oleh lingkungan pergaulan (bully), sosial media, dan keluarga yang kurang harmonis. Saya pernah mewawancara seorang kepala sekolah mengenai perilaku bully siswa, dan jawabnya yaitu "kita tidak bisa menghentikan itu (bully) namun kita bisa cegah". Saya secara pribadi memang kurang puas dengan tanggapan tersebut tapi apa boleh buat.

Kedua, Sosial Media atau lebih tenar dengan sebutan sosmed. Perangkat yang satu ini jika dibicarakan tidak ada habisnya, saya beranggapan sebagian anak Indonesia akan rusak moral jika selalu bergantung pada alat ini. Bukannya saya menyalahkan alatnya ataupun company namun saya melihat banyak anak-anak yang menyalahgunakan sosial media. Dampaknya pun beragam dan jujur saya sangat khawatir terhadap generasi selanjutnya yang mungkin akan cacat sosial.
Next, keluarga yang kurang harmonis menjadikan anak sasarannya. Seorang anak akan melontarkan emosionalnya kepada lingkungan bahwa "si anak gak peduli apapun" karena keluarganya saja tidak mempedulikannya. Finally, anak akan cenderung rusak mental dan secara psikis akan trouma dan tertekan akan kehidupan yang dijalaninya serta tidak mempunyai goals

Jika artikel ini dibaca oleh pejabat pemerintahan ataupun orang akademis, sebagai remaja saya ingin menyampaikan saran saya dalam rangka menyelamatkan generasi penerus. Menurut saya, sebagai upaya memerangi krisis moral dan mental generasi penerus sebaiknya kurikulum pendidikan perlu diekspansi dengan menyertakan juga pembelajaran Psikologi dan Kebudayaan Manusia. Pembelajaran ini memang tidak diajarkan di sekolah konvesional, namun saya rasa dampak yang dihasilkan akan sangat besar bagi kehidupan yang lebih baik lagi.

Saya kira itu saja yang saya utarakan dalam bentuk tulisan ini, semoga bermanfaat bagi semua orang.*

Saya Anugrah, Salam Kreatifitas.     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Biak ada Sinon Wader: Inspirasi dan Mentalitas Neoliberal

Opini tentang Pelayanan Publik di Dukcapil Biak Numfor

Green Jobs, Green Economic, and Green Indonesia