PAPUA : 10 Diskusi untuk 1000 Eksekusi


Picture by Pinterest


Beberapa waktu belakangan ini - masa lockdown - banyak aktivitas sosial di jedakan dalam kurun waktu yang cukup lama. Hampir semua bentuk kegiatan di transisi ke dalam format digitalisasi, salah satunya ialah forum webinar online. Bentuk diskusi online ini mulai membudaya sejak penetapan status siaga darurat di Indonesia seiring angka kasus covid-19 yang signifikan. Beragam topik dibahas mulai dari “rahasia masuk universitas jaket kuning” hingga isu sensitif seperti “Kompleksitas konflik di tanah Papua”. Ini rasanya seperti kegiatan yang hanya mengisi waktu luang saja sebagai pengganti rasa bosan karena beberapa diantaranya tersedia e-certificate dan saya bisa katakan ini terlihat “sementara” sebab percaya atau tidak setelah pandemi ini berakhir event sejenis itu akan perlahan minggat dari instagram story para pecandu webinar.

Saya yakin sudah cukup introduction dari tulisan ini - meskipun agak lari dari fokus pembahasan ini tetapi saya hanya ingin menulis apa saja yang terlintas di kepala saya - , sebab selanjutnya saya akan fokus menjelaskan seputar PAPUA - tempat dimana saya makan dan mandi airnya, tempat dimana saya bermain sepak bola bersama sobat kompleks dan tempat dimana saya harus konsisten belajar untuk kembali mengabdi pada tanah air ini.

Pernah saya satu dua kali bahkan lebih menjadi partisipasi dalam forum diskusi online yang mana topik pembahasannya berpusat pada Surga Kecil yang jatuh ke Bumi atau Papua. Beragam keynote speaker baik itu aktivis HAM, mahasiswa, tokoh pemuda, founder komunitas sosial dan pengamat politik. Masing-masing dari mereka punya gambaran sendiri jika diminta untuk menjelaskan Papua itu seperti apa. Beragam juga solusi konstruktif yang dikeluarkan dari mulut-mulut mereka hingga membuat saya pribadi gencar membaca jurnal sosial. Tidak hanya webinar, saya juga berkesempatan untuk berdiskusi langsung bersama pemuda pemudi Papua yang inspiratif. Bisa dikatakan memang beda rasanya jika hanya sebatas layar monitor dengan face-to-face, jika disuruh memilih saya akan berpihak pada diskusi tatap muka ketimbang yang lainnya. Alasannya sederhana, yaitu lebih deep.

Well, selanjutnya akan dijelaskan lebih sistematis apa saja yang menjadi gagasan utama diskusi online maupun face-to-face tentang Papua yang saya simpulkan menjadi beberapa poin berikut ini.

   

1. Isu Konflik dan Pelanggaran HAM serta Pelurusan Sejarah

Picure to by Pinterst                                                        

              Saya beranikan diri menempatkan ini pada nomor satu karena dari beragam webinar yang saya perhatikan banyak yang cenderung membahas sejarah dan tragedi masa lalu serta dampaknya hingga sekarang. Bisa dilihat dari keynote speaker yang melintang liung sebelum dibentuknya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua hingga masalah rasisme di Surabaya yang membuat diskusi-diskusi daring seperti ini terintegrasi. Saya menyimpulkan semua argumen dari beberapa webinar yang saya ikuti menjadi beberapa poin berikut ini :

Pertama, masyarakat asli Papua diberikan tanda tanya tentang keberadaan keadilan yang sesungguhnya dalam problematika masa lalu yang kelam, dalam artian bahwa kasus-kasus HAM yang terus menjadi bangkai terbengkalai di tengah pembangunan Papua. Intinya masyarakat menuntut pertanggung jawaban atas penyelesaiannya.

Kedua, pendekatan militeristik yang tidak menjawab tantangan perubahan Papua. Rakyat OAP sendiri mengalami memoria passionis dimana mereka merasa trauma dengan mendominasinya militerisasi di tanah Papua. Solusinya adalah jika pemerintah bisa mengirim satu batalyon ke Papua maka harus juga seribu guru dan dokter ke Papua, sebab yang bisa membangun SDM bukanlah peralatan perang namun ilmu dan gizi yang baik.

Ketiga, isu rasisme masih terjadi secara pasif kepada saudara-saudara kita yang sedang menuntut ilmu di kota lain. Sempat kemarin menjadi trending, berita yang terjadi di Minneapolis, USA, kasus George Floyd yang meninggal ‘ditindih’ lehernya oleh aparat kepolisian menjadi titik munculnya lagi isu rasisme yang dikaitkan dengan kondisi psikologis ras melanesian di Indonesia. Memang benar, secara spontan kasus-kasus yang ada kaitannya dengan ‘warna kulit’ sangat sensitif jika diangkat ke ruang publik. Sampai pada kesimpulannya, edukasi budaya dan integrasi HAM perlu di ekspansi kedaulatannya diantara bangsa-bangsa khususnya di negeri tercinta ini, Indonesia.

 

2. Dimanakah UU Otsus Papua selama ini?

Picture by www.bogopapua.com

            Poin yang satu ini memang parlementer sekali apabila dibahas, sebab harus melibatkan kaum politikus, pengamat kebijakan hingga masyarakat adat. Sebelum tenggelam lebih jauh, saya akan menjelaskan sedikit sejarah tentang UU Otsus sendiri. Awalnya otsus itu sendiri berawal dari kedatangan “Tim 100” dimana merupakan perwakilan masyarakat Papua yang bertemu Presiden B.J.Habibie pada 26 Februari 1999 dengan tujuan mengaspirasikan keinginan orang Papua untuk membangun bangsanya sendiri. Alhasil dari pertemuan itu, mereka diminta untuk kembali ke Papua dan renungkan lagi. Pada masa Presiden Abdurachman Wahid, baru dikeluarkan kebijakan UU Otsus itu dengan masa rentang waktu dua puluh tahun yang disahkan oleh MPR dengan harapan dapat menjawab permasalahan yang terjadi di Papua.

Perlu diketahui Otsus tidak hanya soal ‘money’ tapi lebih dari itu yang menyangkut tentang praktisi sistem desentralisasi. Produk dari Otsus salah satunya adalah Majelis Rakyat Papua yang menjadi rumah aspirasi orang asli Papua lintas budaya dan nilai adat istiadat. Otsus juga mempengaruhi sistem pengambilan kebijakan yang leluasa. Dan bagian Otsus yang satu ini menjadi primadona provinsi lain dan juga disangkut pautkan dengan citra hidup rakyat Papua yaitu alokasi dana Otsus yang nilainya menjadi patokan kesejahteraan OAP.

Problematika yang saya tangkap dari beragam diskusi-diskusi online berujung pada rumusan berikut ini :

Pertama, Otsus tidak memberikan perubahan yang signifikan. Hal ini diakibatkan lambatnya peningkatan di bidang pendidikan, akses yang masih ekstrem, daerah yang terisolir sampai penggunaan uangnya itu sendiri.

Kedua, masalah good government. KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) masih menjadi virus yang mewabah dalam jabatan fungsional dan administratif di lingkup Provinsi dan Kabupaten/Kota. “Administrasi Persaudaraan” menjadi jalan tol bagi kaum nepotisisme. Ini sudah bukan hal yang baru, melainkan telah menjadi “bad culture” yang terus dilestarikan. Posisi strategis adalah sasaran kaum kolusisme dalam perjuangan kepentingannya. Entah disadari atau tidak, seseorang harus merubahnya, siapa seseorangnya? jawabannya adalah kita semua. Kitalah seseorang itu.


3. Sistem Kurikulum yang tidak mengadopsi konsep cultural orang Papua

Picture by Pinterst

            Apabila kita berbicara pendidikan tidak akan lepas dari konseptual budaya. Kurikulum Pendidikan di Indonesia saya bisa katakan “mengejar segala bentuk ketertinggalan” dan pasif dalam beradaptasi. Masalah Papua hari ini adalah pendidikan. Anda bisa lihat dan browsing sendiri di mesin pencaharian, bahwa IPM terendah di Indonesia ada di Papua. Bagaimana kita mau berdiri dan bergerak jika kaki tangan kita masih terikat oleh tali kebelengguan pendidikan?

Beberapa pendapat yang saya dapatkan ketika menjadi audience dalam forum-forum diskusi online, menggerakan saya untuk menulis tulisan ini. Banyak sekali gagasan-gagasan konstruktif yang tidak terpikirkan oleh banyak orang, namun tidak didengarkan oleh pemilik kedaulatan. Berikut problematika pendidikan di tanah Papua :

Pertama, secara spesifik kurikulum pendidikan Indonesia tidak menyentuh pola pikir anak Papua. Kurikulum pendidikan seakan mengeneralisasikan pemahaman ilmu pengetahuan tanpa memandang aspek sosial budaya. Yang saya maksudkan disini, budaya adat istiadat seakan tidak menjadi faktor penting dalam dunia pendidikan di Papua. Semua pasti paham bahwa esensi pendidikan di metropolitan pasti berbeda jauh dengan daerah terpencil. Seperti yang dirasakan oleh saudara kita yang berada di daerah terisolasi masih memegang tradisi adat dan budaya. Seharusnya sistem pendidikan harus melakukan pendekatan yang kultural terhadap Papua, mengingat ada tujuh wilayah adat di Papua. Harus ada sebuah grand design terhadap pendidikan di Papua.

Kedua, perbedaan kualitas fasilitas pendidikan dan status “unggulan” masih menjadi standarisasi dalam memilih sekolah. Ketimpangan pendidikan terjadi lagi antara sekolah-sekolah di daerah perkotaan dan daerah perkampungan. Fasilitsas sekolah yang memadahi menjadi patokan para peserta didik untuk menuntut ilmu. Dalam hal ini direkomendasikan kepada pemerintah yang membidangi pendidikan untuk lebih menyetarakan kualitas guru, fasilitas mengajar hingga kondisi sekolah yang baik. Dan satu lagi, menurut saya DPPAD Provinsi Papua dalam hal ini yang mengontrol urusan SMA/SMK/Sederajat perlu membangun inovasi dan daya saing kreatifitas pelajar melalui organisasi OSIS ataupun forum komunikasi pelajar antarsekolah, tujuannya tidak lain  yaitu memperluas networking dan belajar banyak tentang interpersonal serta mendiskusikan hal-hal yang berbaur ide dan inovasi.

 

Pada kesimpulannya, akan saya ulaskan pokok-pokok pembahasan tulisan ini sebagai berikut :

1. Status sejarah Papua - kasus HAM, konflik internal antar penduduk non-Papua dan OAP dan rasisme - masih menggantung di palu meja hijau dan terdengar mulut-mulut rasisme di tanah air meskipun secara pasif. Perlu adanya edukasi dan pengenalan image Papua terhadap dunia bahwa kami (Papua) bukan lagi kaum konservatisme yang masih tidak menggunakan alas kaki ataupun gadget terlihat asing di hadapan kami melainkan kami adalah penduduk yang berkembang dengan terus melestarikan warisan leluhur.

2. OTSUS. Bagi beberapa orang, ini merupakan hadiah. Bagi beberapa rakyat, ini tidak memberikan dampak. Saya bukan seorang ahli hukum tata negara dan juga bukan seorang aktivis namun apa yang dituliskan disini hanya berupa eksperimen kecil-kecilan. Otsus sebenarnya harus menolong masalah-masalah internal Papua - peningkatan SDM, menghapuskan angka kesenjangan sosial, tidak ada lagi gizi buruk dan segala hal yang merugikan OAP harus diselesaikan - namun dalam pelaksanaannya selama dua dekade belakangan ini sedikit menampakan hal-hal yang signifikan, perlu adanya evaluasi terang-terangan dengan rakyat sendiri sebagai objek dari Otsus sendiri.

3. Sistem kurikulum pendidikan kurang efektif dalam mengajak anak Papua untuk terus mandiri dalam inteligent dan ketangkasan. Ada lagi problematika yaitu minim fasilitas mengajar dan angka tenaga didik yang kalah jumlah dengan aparat - administrator dan keamanan. Karena ini, banyak relawan kemanusiaan independen yang ingin menggerakan roda pembangunan manusia. Perlu adanya pendekatan cultural dan desain pendidikan yang baik.

 

Saya pikir sudah cukup dasar pemahaman  dari tulisan ini, jika pembaca memiliki pandangan yang berbeda silahkan berargumen pada kolom komentar dibawah, saya pasti akan membacanya. Akhir penutup saya ingin sampaikan sebuah kalimat yang berbunyi demikian “Konsistenlah pada komitmenmu, jangan ikut ramai. Jadilah dirimu sendiri”.



 Anugrah A. I. J. Wejai

 

 

 

 

 

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Biak ada Sinon Wader: Inspirasi dan Mentalitas Neoliberal

Opini tentang Pelayanan Publik di Dukcapil Biak Numfor

Green Jobs, Green Economic, and Green Indonesia